Rabu, 03 April 2013

PENGENDALIAN KIMIAWI FEROMON SEX



LAPORAN PRAKTIKUM
PHPT
PENGENDALIAN KIMIAWI
(FEROMON SEX)









Disusun oleh:
            Nama  : Jefri Sasongko
            NIM    : C1103013






PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
POLITEKNIK BANJARNEGARA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Tujuan Praktikum
1)      Mengetahui berbagai teknik pengendalian OPT
2)      Mampu melaksanakan beberapa teknik pengendalia OPT dan mampu mengambil keputusan teknik yang tepat dalam pelaksanakan pengendalian

1.2.Dasar Teori
Pengendalian OPT bertujuan untuk mengurangi dan menurunkan intensitas serangan OPT di tanaman budidaya. Beberapa teknik yang dapat diginakan yaitu secara fisik, mekanik, kultur teknik, kimiawi, hayati, penggunaan varietas lahan, bioteknologi, perundang-undangan, dan PHT (pengelolaan hama terpadu). Semua metode pengendalian memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga diperlukan pemilihan teknik yang tepat dalam upaya pengendalian OPT di lapang. Teknik pengendalian yang optimum bertujuan agar hasil pengendalian yang dilakukan maksimum tanpa ada dampak ekologis yang negative dan residu pestisida yang berbahaya dalam jumlah minimum atau bahkan tidak ada.
Pengendalian hama adalah setiap usaha atau tindakan manusia untuk membatasi atau mengurangi perkembangan hama agar jangan sampai meluas ke tempat lain dan juga menekan hama itu sendiri agar tetap pada tingkat yang tidak merugikan. Tujuan pengendalian adalah mengupayakan agar populasi hama tidak menimbulkan kerugian, melalui cara-cara pengendalian yang efektif, menguntungkan, dan aman terhadap lingkungan
Feromon adalah sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar endokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat memengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies). Feromon, berasal dari bahasa Yunaniphero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’.
Komunikasi melalui feromon sangat meluas dalam keluarga serangga. Feromon bertindak sebagai alat pemikat seksual antara betina dan jantan. Jenis feromon yang sering dianalisis adalah yang digunakan ngengat sebagai zat untuk melakukan perkawinan. Ngengat gipsi betina dapat memengaruhi ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan memproduksi feromon yang disebut "disparlur". Karena ngengat jantan mampu mengindra beberapa ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu mililiter udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah yang sangat besar sekalipun.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies) (Anonim,2009).
Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi reproduksi serangga. Penemu zat feromon pertama kalinya pada hewan (serangga) adalah Jean-Henri Fabre, ketika pada satu musim semi tahun 1870 an pengamatannya pada ngengat ‘Great peacock’ betina keluar dari kepompongnya dan diletakkan di kandang kawat di meja studinya untuk beberapa lama menemukan bahwa pada pada malam harinya lusinan ngengat jantan berkumpul merubung kandang kawat di meja studinya. Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan ‘menemukan’ betina-betinanya. Fabre sampai pada kesimpulan jika ngengat betina menghasilkan ‘zat kimia’ tertentu yang baunya menarik ngengat-ngengat jantan (Anonim,2009).








BAB III
METODELOGI PRAKTIKUM

3  1.Alat
     Botol air mineral
     Bambu
     Mika warna merah
     Plastik transparan atau bening
     Pisau
     Corong
     Kawat

3  2.Bahan
            Deterjen
     Air
     Metil Eugenol
    Kapas

3.3.Prosedur Kerja
Pengendalian Kimiawi (Feromon Seks)
a.       Diteteskan metil eugenol ke kapas
b.      Dimasukkan kapas ke dalam botol air mineral yang telah dimodifikasi
c.       Diletakkan di sekitar area tanaman budidaya
d.      Dilakukan pengamatan terhadap jumlah dan jenis OPT yang terperangkap.








BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil
a.       Pengendalian Kimiawi Feromon Seks
Gambar Lalat Buah pada botol

b.      Tabel Pengendalian kimiawi (Feromon Seks)

NO.

NAMA

LALAT BUAH
1.
Absullah Adli I
0
2.
Afri Dwi S
24
3.
Ana Rofika B.F
-
4.
Argo Galih S
32
5.
Catur Purna E
1
6.
El Muhammad F
10
7.
Febri Toni A
2
8.
Imam Saeful
5
9.
Irfan Ngafifi
36
10.
Jefri Sasongko
6
11.
Nasyifatul Wardah
-
12.
Pujiono
0
13.
Reski Diah U
13
14.
Rian Hidayat
1
15.
Salam Hermawan
0
16.
Subhan
1
17.
Tuti Nofianti
-
18.
Utri Kasiga
1
19.
Yunita Wijayanti
0
JUMLAH
132
RATA-RATA
6,9






4.2.Pembahasan

Dari hasil data yang diperoleh setelah dilakukannya praktikum, dapat diketahui pengendalin OPT yaitu dengan cara kimiawi, dengan menggunakan feromon seks untuk menangkap lalat buah jantan. Feromon, merupakan sejenis zat kimia yang disekresikan oleh organisme, dan berguna untuk berkomunikasi secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama atau untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Berdasarkan fungsinya ada dua kelompok feromon yaitu:
a. Feromon “releaser”, yang memberikan pengaruh langsung terhadap sistem  syaraf pusat individu penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera. Feromon ini terdiri atas tiga jenis, yaitu feromon seks,feromon jejak, dan feromon alarm.




b. Feromon primer, yang berpengaruh terhadap system syaraf endokrin dan reproduksi individu penerima sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis
Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.
Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino. Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah.
Agar dapat menimbulkan rangsang, harus ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space".
Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.
Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon.
Hasil yang diperolehpun cukup efektif, dengan menggunakan metil eugenol yang memiliki aroma khas lalat betina dapat merangsang lalat jantan untuk mendekati perangkap yang sudah dipasang untuk menjebak lalat jantan tersebut. Selain ramah lingkungan feromon seks ini juga tidak berbahaya bagi manusia dan tanaman itu sendiri dan biaya yang digunakan cukup murah. Dan populasi atau tingkat jumlah lalt buah yang paling berada di sekitar tanaman mangga.




BAB V
PENUTUP

5.1.Kesimpulan
Dari praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa Feromon seks cukup efektif dalam mengendalikan OPT, untuk dapat menangkap hama yang aktif beraktivitas dimalam hari. Feromon seks pun cukup efektif dalam mengendalikan lalat buah, dengan aroma yang khas yaitu aroma lalat buah betina dapat memikat lalat buah jantan untuk terperangkap kedalamnya. Dan hasil yang didapat pun cukup banyak dengan radius yang panjang, memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.





DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002. Fruit Fly rearing Methods for Pacific Island Countries and Teritories.http://www.pacifly.org/Fruit_fly_manual
Anonim. 2006. Kajian Musuh Alami Lalat Buah Bactrocera dorsalis HENDEL . http://www.unhas.ac.id/~lemlit/researches/view/316.html
Anonim. 2004. Lalat Buah (Bactrocera sp). Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropik. Tlekung Batu.
Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengendali Lalat Buah.Agro Media Pustaka. Depok.
Kalshoven. L.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.
Kuswadi, A. 2004. Teknik Iradiasi Untuk Pengendalian Hama Lalat Buah Pasca Panen Melalui Perlakuan Keselamatan Tumbuhan. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar